Dua tahun telah berlalu sejak tragedi Kanjuruhan yang menelan 135 nyawa, namun kericuhan suporter sepak bola di Indonesia masih menjadi masalah yang belum teratasi. Meskipun berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, insiden kekerasan antar-suporter terus berulang, seperti yang baru-baru ini terjadi dalam pertandingan Persib melawan Persija. Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik dalam sejarah sepak bola nasional, namun apakah perubahan yang diterapkan sudah cukup efektif?
Tragedi Kanjuruhan: Titik Balik Sepak Bola Nasional?
Pada 1 Oktober 2022, Indonesia dikejutkan oleh tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang merenggut 135 nyawa. Insiden tersebut memicu diskusi nasional tentang keamanan stadion dan perilaku suporter. Sebagai salah satu tragedi terburuk dalam sejarah sepak bola dunia, tragedi ini menyoroti masalah-masalah mendasar yang belum terselesaikan dalam budaya sepak bola Indonesia, terutama fanatisme berlebihan yang sering memicu kericuhan.
Upaya Perbaikan Pasca Tragedi Kanjuruhan
Pasca tragedi, pemerintah dan PSSI bergerak cepat memperkenalkan serangkaian upaya perbaikan. Salah satu perubahan signifikan adalah keluarnya peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2022, yang mengedepankan peran steward dalam pengamanan pertandingan sepak bola. Selain itu, aturan ini juga melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion, yang menjadi salah satu faktor penyebab banyaknya korban dalam tragedi Kanjuruhan.
Tidak hanya itu, PSSI juga menerapkan perubahan waktu kick-off pertandingan menjadi paling malam pukul 19.00, serta mengadakan beberapa kompetisi tanpa kehadiran suporter demi mencegah kericuhan lebih lanjut. Renovasi total Stadion Kanjuruhan dan audit keamanan 22 stadion prioritas di Indonesia juga termasuk dalam langkah-langkah perbaikan ini.
Kekerasan Suporter: Sebuah Fenomena yang Berulang
Namun, meskipun sudah ada berbagai langkah perbaikan, kekerasan antar suporter tampaknya belum bisa dihindari. Pada 23 September 2024, hanya seminggu sebelum peringatan dua tahun tragedi Kanjuruhan, terjadi kericuhan usai pertandingan Persib vs Persija di Stadion Si Jalak Harupat. Suporter Persib, yang dikenal dengan sebutan Bobotoh, terlibat dalam pemukulan terhadap petugas keamanan (steward), mengakibatkan 21 orang terluka. Ironisnya, keberadaan steward seharusnya menjadi salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kerusuhan seperti ini.
Kericuhan dalam sepak bola Indonesia sering kali dipicu oleh fanatisme yang berlebihan. Para suporter merasa begitu terikat dengan klub pujaan mereka, namun kurang memiliki sportivitas dan kedewasaan dalam menerima hasil pertandingan. Ketika berada dalam kerumunan besar, batasan moral dan etika kerap kabur, yang akhirnya memicu tindak kekerasan yang tidak terkendali.
Mencari Solusi: Membangun Budaya Sepak Bola yang Lebih Aman
Untuk menghentikan kekerasan suporter, tidak cukup hanya mengandalkan perubahan regulasi dan infrastruktur. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengedukasi suporter tentang arti sejati mendukung tim. Suporter perlu memahami bahwa kemenangan atau kekalahan adalah bagian dari pertandingan, dan kekerasan tidak pernah menjadi solusi yang tepat. Edukasi tentang sportivitas, serta penerapan sanksi tegas bagi pelaku kerusuhan, harus menjadi fokus utama.
Pemerintah, PSSI, dan klub-klub sepak bola juga harus lebih proaktif dalam membangun budaya yang mendukung permainan yang aman dan damai. Mengadakan kampanye sosial dan melibatkan suporter dalam kegiatan positif dapat menjadi langkah awal dalam mengubah pola pikir yang selama ini menjadi akar masalah.
Dua tahun sejak tragedi Kanjuruhan, sepak bola Indonesia masih menghadapi tantangan besar: kekerasan suporter yang tampaknya tidak ada habisnya. Meskipun sudah ada berbagai perubahan regulasi dan perbaikan infrastruktur, kekerasan ini akan terus berulang jika tidak disertai perubahan budaya di kalangan suporter. Semoga, dengan komitmen semua pihak, sepak bola Indonesia dapat kembali menjadi ajang yang aman dan damai, di mana semua orang bisa menikmati permainan tanpa rasa takut, dan tidak ada lagi nyawa yang melayang hanya karena fanatisme yang tidak terkendali.